Rabu, 05 Mei 2010

Binar Mata Elang

Binar Mata Elang

Sita menarik nafas panjang sambil menghapus bulir-bulir keringat di dahinya dengan lengan bajunya karena kedua tangannya penuh dengan bungkusan belanjaan Gracie, majikannya. Sebenarnya belanja bulanan untuk kepentingan rumah tangga bos nya itu, bukanlah kewajiban Sita, ia hanya berkewajiban menjaga toko buku milik Gracie, karena dulu ia melamar dan diterima hanya sebagai penjaga toko buku.

Tiga rumah lagi ia tiba di toko buku dimana Gracie sedang menunggu. Meski baru tiga bulan bekerja di sana, wajah Gracie sudah terpatri jelas dalam benak Sita. Bukan karena perempuan yang usianya tiga puluh tahun di atas Sita itu adalah seorang majikan yang baik, tetapi karena sifat menyebalkannya yang selalu memerintah seakan ia telah memberikan upah yang pantas bagi pekerjanya. Sita yang paling junior diantara pegawai yang lain selalu menjadi korban bila sifat Gracie kumat. Lalu seperti inilah sekarang, Gracie menyodorkan daftar belanjaan begitu Sita tiba tadi pagi dan para senior nyengir kuda sembari pura-pura membereskan buku.

“Akhirnya kamu sampai juga!” suara serak Gracie menyambut kedatangan Sita. Sita menaruh belanjaan itu di kaki Gracie.

“Jangan di situ, simpan langsung di dapur.” Sita mengambil kembali belanjaan itu dan membawanya menuju dapur.

Entah apa pikiran perempuan tua ini, kenapa tak ia taruh sendiri?

Setelah selesai menunaikan tugas tambahannya, Sita kembali ke toko buku. Ia berdiri di samping rak paling luar, merapikan buku yang sudah rapi. Ia terus melakukan itu hingga rak terakhir sampai seseorang menepuk bahunya.

“Sita, kami mau pergi ke luar dulu tolong kamu bantu Anita jaga toko.” Ucap Gracie yang langsung pergi tanpa menunggu jawaban Sita, dibelakangnya Raffa berjalan mengekor.

Melihat kepulan debu yang muncul seiring melajunya mobil Gracie membuat Sita tak ingin berada di situ. Padahal ia suka sekali buku, tetapi tak pernah bercita-cita menjadi penjaga toko buku. Setiap kali tangannya menyentuh permukaan sampul buku selalu ada gelenyar dalam dirinya yang membuat ia lupa dimana ia berada. Tapi hal itu tak pernah terjadi di sini.

“Sita, tolong bantu aku ya.” Seseorang kembali menepuk bahu Sita beberapa menit kemudian.

Anita, pegawai senior selain Raffa berdiri di belakangnya. Ia mengenakan jaket dan menjinjing tas tangannya. Dahi Sita berkerut melihat penampilan Anita yang siap pergi saat masih jam kerja.

“Bantu apa Ta?” Sita tak sadar mengucapkan kalimat itu dengan nada yang cukup kasar.

“Aduh Sit, kamu kok gitu sih? Aku ini harus pergi cuma sebentar ko, sebelum mereka pulang aku juga udah di sini lagi. Aku cuma minta bantu kamu jangan bilang siapa-siapa, ya?” walaupun ia mengatakannya sambil tersenyum, Anita mencengkram pelan lengan Sita.

“I-iya Ta, kalau mau pergi silahkan.” Sita merasa aneh, karena di telinganya sendiri, kalimat tadi yang diucapkannya tidak terdengar seperti suaranya.

“Kamu baik deh, ya udah jaga toko baik-baik ya!” Anita melepaskan cengkramannya kemudian berlalu pergi seperti Gracie dan Raffa.

Sepeninggal Anita, Sita duduk di kursi kasir matanya tertutup rapat. Dalam benaknya, ia membayangkan rentetan kejadian hari ini. Kejadian mengesalkan seperti sekarang sebelumnya pernah terjadi, meski tidak setiap hari. Ia harus melakukan pembalasan, tapi dengan cara apa?

Sita membuka matanya, lalu membayangkan pembalasan yang bisa ia lakukan. Ia bisa merusak buku-buku milik Gracie sehingga tak ada yang mau membeli buku-buku itu atau lebih hebat lagi kalau rusaknya buku-buku itu ia buat seolah-olah perbuatan Anita, satu kali menepuk dua lalat mati. Sita tersenyum simpul membayangkan kekacauan yang akan terjadi. Kemudian seperti selang yang terlepas katupnya, ide-ide jahil bermunculan di otaknya. Sita berhenti mengeksplorasi otaknya ketika menyadari hujan lebat di luar dan membuat buku-buku yang dipajang di rak dekat pintu basah terkena cipratan air. Sejenak ia bangkit lalu kembali duduk, karena Sita berpikir ternyata ia tak perlu berbuat jahat, alam telah mengambil alih tugasnya. Sekarang, ia tinggal duduk tenang di sini kemudian ketika Gracie pulang lalu menyadari sebagian bukunya rusak, Sita akan berkilah ia tidak tahu hujan terjadi karena sedang membereskan buku di bagian belakang. Kemudian tanpa sengaja terbongkarlah tindakan Anita yang pergi saat jam kerja. Sita kembali tersenyum membayangkan hal itu.

“Sita, kamu dimana?” hati Sita mencelos mendengar suara itu, tapi suara itu bukan milik Raffa apalagi Gracie atau Anita, suara itu suara laki-laki yang belum pernah ia dengar.

“Sita, cepat bantu aku! Kalau tidak buku-buku ini bisa rusak!” Sita segera berlari menuju pintu lalu ia melihat Elang, anak teman Gracie sedang menarik rak buku ke dalam toko. Tentu saja suara itu asing karena meski sering bertemu, Elang tak pernah bicara di hadapan Sita.

“Cepat bantu, aku tak sanggup menariknya sendiri!” kata Elang ketika Sita hanya berdiri beberapa meter di sampingnya. Dengan patuh Sita menarik rak buku itu dari sisi yang lain.

“Coba periksa ada berapa yang basah, semoga saja masih bisa dikeringkan nanti.” Kata Elang saat rak-rak itu sudah aman dari hujan.

Sita memeriksa beberapa buku, walaupun dilapisi plastik, ada beberapa bagian yang basah dan membuat kertasnya lepek. Saat Sita menyentuh kertas yang rusak itu, timbul gelenyar yang ia kenal namun efek yang terjadi berbeda. Hatinya merasa kosong, buku ini seperti anak kecil yang menangis karena tak diperhatikan ibunya.

“Bagaimana, bisa diperbaiki?” Suara Elang menyadarkan Sita, Sita mendongakkan kepala menatap Elang namun kembali menunduk menatap buku di tangannya. Ada sesuatu yang lain yang muncul ketika Sita melihat mata Elang dan membuat Sita tak sanggup melihat lebih lama.

“Ada beberapa yang rusak parah, tapi sebagian hanya perlu dikeringkan.”

“Syukurlah.”

Mendengar ucapan terakhir Elang, memunculkan pertanyaan yang spontan diucapkan Sita, “Kenapa kamu tahu aku ada di dalam?” Setelah mengucapkan pertanyaan itu, Sita merasa menyesal karena saat ini Elang terlihat salah tingkah.

“Aku hanya menebak saja.” Elang mengatakan itu tanpa memandang langsung Sita seperti sebelumnya, “Emm, sebaiknya aku pergi sekarang, sampai jumpa.”

“Tapi di luar masih hujan!” Sita mengatakannya sambil berteriak karena Elang sudah di luar.

“Aku bawa payung.” Ucap Elang menunjuk payung di tangannya. Sebelum pergi, Sita melihat sesuatu dalam binar mata Elang yang membuat hari ini bukan lagi hari yang menyebalkan.